Beranda | Artikel
Tiga Wasiat bagi Mereka yang Hendak atau Sedang Beriktikaf
Selasa, 18 April 2023

Setidaknya ada tiga wasiat berharga yang diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqithi rahimahullah kepada mereka yang hendak atau sedang melakukan iktikaf di bulan Ramadan yang mulia ini.

Yang pertama: Hadirkan niat yang ikhlas di dalam melaksanakan iktikaf dan qiyamullail

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa menghidupkan (salat) malam pada bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lampau akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

Maksudnya adalah menghidupkan malam-malam di bulan Ramadan dengan dipenuhi rasa percaya akan adanya balasan kebaikan dan ancaman pada perintah-perintah Allah Ta’ala. Mengerjakan amal-amal di malam tersebut dengan mengharap rahmat Allah Ta’ala. Apa keutamaannya? Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Saat engkau keluar dari rumah, baik itu dengan niat beriktikaf ataupun untuk meramaikan dan memakmurkan masjid dengan ikut serta dalam pelaksanaan salat malam dan tarawih, maka keluarlah dengan keadaan tidak ada di hati kalian, melainkan Allah Ta’ala. Keluarlah dengan penuh pengharapan akan rahmat-Nya. Sungguh, ketika engkau keluar dalam kondisi seperti ini, maka tidaklah engkau mengangkat kakimu, kecuali akan diangkat derajatmu beberapa derajat. Dan tidaklah engkau menjejakkan kakimu, kecuali dihapus darimu keburukan dan kejelekan-kejelekan.

Keluarlah dengan keadaan engkau tidak berniat untuk riya’ ataupun sum’ah sama sekali. Karena Allah Ta’ala memberikan balasan kepada seorang hamba sesuai dengan kadar keikhlasannya. Sungguh merupakan kerugian bagi siapapun yang tidak bisa ikhlas dalam qiyamullail-nya. Betapa banyak kaki yang pegal dan bengkak karena lamanya berdiri di tengah malam untuk salat malam, namun tidak ada yang didapatkannya melainkan rasa capek dan lelah saja.

Lalu, hal apa yang bisa menyelamatkan seorang hamba dari bahaya riya’ ini?

Saudaraku, berusahalah untuk senantiasa ikhlas. Camkan dalam hatimu bahwa engkau butuh rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Keluarlah dari rumah dengan keadaan engkau merasa bahwa di hari kiamat nanti engkau butuh dengan langkah-langkah yang engkau pijakkan untuk menuju masjid ini. Saat berdiri dan bersujud, ingatlah bahwa engkau akan butuh rakaat-rakaat dan sujud-sujud tersebut saat -wal ‘iyadzhu billah- kuburanmu menjadi sempit.

Sungguh, siapapun yang keluar dari rumahnya sedang hatinya telah dipenuhi dengan keikhlasan, maka akan Allah tanamkan di hatinya rasa manis dan ketenangan dalam membaca dan mendengarkan Al-Qur’an. Engkau akan dapati bahwa diri kita akan  menjadi khusyuk dan penuh dengan ketundukan kepada Allah Ta’ala.

Seorang hamba tidaklah keluar dari rumahnya untuk beribadah ikhlas karena Allah Ta’ala, melainkan ia akan senantiasa mendapatkan taufik dan petunjuk dalam setiap gerak-gerik ibadahnya.

Baca juga: Bagaimana Saya Bisa Ikhlas di Setiap Amal?

Yang kedua: Dahulukan amal ibadah yang wajib dari amal ibadah yang hukumnya sunah

Saudaraku, jangan sampai amalan yang hukumnya sunah melalaikan dirimu dari amalan yang hukumnya wajib. Sesungguhnya cerdasnya kita dalam mengatur skala prioritas dalam beribadah termasuk salah satu sebab mendapatkan keridaan Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala tidak ingin ditaati apabila di dalamnya terdapat kemaksiatan kepada-Nya.

Jika kegiatan iktikaf kita bertabrakan dengan berbakti kepada orang tua, bertabrakan dengan pemenuhan hak anak-anak, atau membuat istri melakukan hal-hal yang diharamkan, maka dahulukanlah perkara-perkara yang Allah perintahkan untuk didahulukan. Jangan khawatir terlewat dari keutamaan iktikaf, karena Allah Ta’ala pasti akan memberikanmu pahala sejauh niatan yang engkau niatkan, meskipun engkau tidak jadi melakukannya.

Di dalam hadis yang sahih, Allah Ta’ala berfirman,

وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه

“Tidak ada amal saleh yang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal saleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam).” (HR. Bukhari no. 6502)

Jika orang tuamu memintamu untuk datang dan berbakti kepadanya, maka dahulukanlah berbakti kepada keduanya daripada beriktikaf. Karena dekat dengan orang tua dan memenuhi panggilannya lebih mulia dan lebih utama daripada beriktikaf, meskipun iktikaf tersebut dilakukan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.

Dalam sebuah hadis yang sahih disebutkan ada seorang sahabat datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,

يا رسولَ اللَّهِ إنِّي كنتُ أردتُ الجِهادَ معَكَ أبتغي بذلِكَ وجْهَ اللَّهِ والدَّارَ الآخرةَ قالَ ويحَكَ أحيَّةٌ أمُّكَ قُلتُ نعَم قالَ ارجَع فبِرَّها ثمَّ أتيتُهُ منَ الجانبِ الآخَرِ فقلتُ يا رسولَ اللَّهِ إنِّي كنتُ أردتُ الجِهادَ معَكَ أبتغي بذلِكَ وجهَ اللَّهِ والدَّارَ الآخرَةَ قالَ وَيحَكَ أحيَّةٌ أمُّكَ قلتُ نعَم يا رسولَ اللَّهِ قالَ فارجِع إليْها فبِرَّها ثمَّ أتيتُهُ من أمامِهِ فقُلتُ يا رسولَ اللَّهِ إنِّي كنتُ أردتُ الجِهادَ معَكَ أبتغي بذلِكَ وجْهَ اللَّهِ والدَّارَ الآخرةَ قالَ ويحَكَ أحيَّةٌ أمُّكَ قُلتُ نعَم يا رَسولَ اللَّهِ قالَ ويحَكَ الزَم رِجلَها فثمَّ الجنَّةُ

“’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin berjihad bersamamu dalam rangka mencari rida Allah dan kehidupan akhirat.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Celakalah kau! Apakah ibumu masih hidup?’ la menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kembalilah dan berbaktilah kepadanya.’ Kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali dari sisi yang lain. Aku katakan, ‘Wahai Rasulullah! Aku ingin berjihad bersamamu dalam rangka mencari rida Allah dan kehidupan akhirat.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Celakalah kau! Apakah ibumu masih hidup?’ la menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kembalilah dan berbaktilah kepadanya.’ Kemudian aku mendatanginya dari sisi depan, aku katakan; ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ingin berjihad bersamamu dalam rangka mencari rida Allah dan kehidupan akhirat.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Celakalah kau! Apakah ibumu masih hidup?’ la menjawab, ‘Ya! Wahai Rasulullah!’ Rasulullah bersabda, ‘Celakalah kau! Tetaplah berada pada kedua kakinya dan di situlah terdapat surga.’” (HR. Ibnu Majah no. 2259)

Wahai mereka yang mendambakan surga Allah Ta’ala! Wahai mereka yang menginginkan kesuksesan dengan mendapatkan kasih sayang Allah Ta’ala! Berbaktilah kepada kedua orang tuamu! Berbuat baiklah kepada keduanya! Hiduplah di tengah mereka! Berkatalah dengan lembut dan baik kepada keduanya! Sungguh, engkau akan mendapatkan kemuliaan dari Allah karenanya.

Saudaraku, tidak mengherankan bila ada sebagian manusia yang beriktikaf, rajin beribadah, namun hatinya tetap keras. Al-Qur’an tidak membekas di hatinya. Hidupnya kacau balau. Kesemuanya itu bisa jadi karena buruknya dia dalam mengatur skala prioritas ketika beribadah. Berusahalah wahai saudaraku untuk mendahulukan dan mengutamakan amal ibadah wajib dari yang selainnya.

Baca juga: Pentingnya Memahami Skala Prioritas dalam Beramal

Ketiga: Maksimalkan waktu untuk beribadah dan jauhkan diri dari perkara yang menyia-nyiakan

Saat engkau masuk ke masjid, maka masuklah dengan memberikan semua hak-hak masjid yang ada. Baik itu dengan fokus beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Ataupun memaksimalkan waktu untuk melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi hal-hal terlarang ataupun sia-sia.

Ingatlah bahwa diri kita ini sedang meninggalkan keluarga. Kita meninggalkan juga kumpul-kumpul dan canda tawa bersama sanak kerabat. Kesemuanya itu demi mengharap rahmat, ampunan, dan kecintaan Allah Ta’ala. Kesemuanya itu agar engkau bisa fokus beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai engkau hancurkan hal tersebut dengan banyak mengobrol. Engkau memindahkan obrolan dan tongkrongan yang biasa dilakukan di luar masjid ke dalam masjid. Atau bahkan, canda tawa, senda gurau berlebihan yang sampai pada tahap saling ejek dan menggunjing?!

Sungguh duduknya mereka yang melakukan semua itu di rumahnya lebih baik dari melakukannya di masjid. Karena perbuatannya tersebut akan membahayakan dirinya sendiri dan mengganggu orang lain.

Betapa banyak, orang yang ingin fokus beribadah menjadi terganggu karena adanya hal-hal seperti ini. Tidak jenak dalam beribadah karena kegaduhan dan keributan yang terjadi di dalam masjid. Iktikaf macam apa yang pada akhirnya mengganggu orang lain?!

Syekh Muhammad Al-Amiin As-Syinqithi rahimahullah lalu menyebutkan sebuah kisah,

“Aku pernah menyaksikan sendiri orang-orang saleh (saat itu aku masih kanak-kanak). Saat mereka masuk ke masjid Nabawi untuk beriktikaf, mereka berjalan dengan keadaan mata mereka selalu menunduk mengarah ke kaki. Lalu jika aku datangi mereka, mereka sedang mendirikan salat dengan ditutupi oleh tirai-tirai. Di waktu itulah aku dapati kelezatan. Bacaan Qur’an mereka terdengar. Isak tangis mereka pecah karena rasa takut mereka kepada Allah Ta’ala. Kami saat itu masih kecil. Kami datang kepada mereka di antara kain-kain yang mereka jadikan pembatas dan tenda. Terdengar salah seorang dari mereka berucap, “Astaghfirullah.” (Aku memohon ampunan kepadamu ya Allah), dalam keadaan ia dipenuhi dengan rintihan dan tangisan. Sungguh apa yang aku dengar dari ucapan-ucapan mereka merupakan hal terindah yang pernah kudengar.”

Ke manakah perginya orang-orang yang jujur dalam ibadahnya?! Ke manakah perginya orang-orang yang beriktikaf, lalu saat malam datang menjelang dahi-dahi mereka membekas karena banyaknya sujud yang mereka lakukan?! Ke manakah perginya mereka yang malam-malamnya dipenuhi dengan bermunajat dan beribadah kepada Allah Ta’ala?! Sungguh, telah hilang manisnya beribadah dan beriktikaf karena waktu-waktu yang ada justru dipenuhi dengan obrolan sia-sia dan tidak ada manfaatnya.

Marilah saudaraku, berkacalah dan ikutilah petunjuk dan tata cara beribadah yang sudah dicontohkan para salaf terdahulu. Sungguh iktikaf adalah madrasah yang melatih seseorang untuk terbiasa berduaan dengan Allah Ta’ala saja. Jikalau bukan seperti itu, lalu untuk apa seseorang meninggalkan rumah dan keluarga yang di dalamnya ia memiliki hak-hak dan kewajiban?

Lihatlah bagaimana semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beriktikaf. Beliau kencangkan sarung beliau. Beliau bangunkan semua keluarga beliau. Beliau hidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Kesemuanya itu karena besarnya keutamaan beriktikaf dan beribadah di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, serta besarnya keutamaan beribadah di dalam masjid.

Sebagian ulama saat menafsirkan firman Allah Ta’ala,

وَالْفَجْرِۙ * وَلَيَالٍ عَشْرٍۙ

“Demi fajar, demi malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)

Mereka berkata, “Malam yang sepuluh itu adalah sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan. Allah Ta’ala bersumpah dengannya di dalam kitab-Nya untuk mengingatkan akan besarnya keagungan sepuluh malam terakhir tersebut.”

Berusahalah untuk jujur dalam iktikaf yang kita lakukan. Isilah hari-hari iktikaf yang ada dengan amal ibadah dan kebaikan. Jauhkanlah diri ini dari hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Masuklah ke dalam masjid dengan memberikan hak-haknya dan menghormati kedudukannya.

Wallahu a’lam bisshwab.

Diterjemahkan dari kitab Durusun li As-Syaikh Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqithi rahimahullah dengan beberapa penyesuaian dan penambahan.

Baca juga: Untukmu yang Sedang Malas Beribadah

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/84448-wasiat-beriktikaf.html